Diposting oleh
putu
/ 03.08 /
Informasi terbaru Bertahan dengan Penerapan Budaya Jawa
Oleh Defri Werdiono
Ketika pemerintah mengimbau sekolah memberi nama kelas dengan tokoh wayang, sejumlah tokoh Pandawa sudah menjadi nama ruang kelas dan kantor pamong Taman Muda Taman Siswa Ibu Pawiyatan.
Nama-nama yang ditulis dengan aksara Jawa, seolah menyadarkan tak ada yang berubah dengan sekolah hasil buah pikir Ki Hadjar Dewantara itu. Di tengah gempuran globalisasi, Taman Siswa terus mempertahankan kebudayaan adiluhung nenek moyang.
Ketika banyak sekolah membuat papan nama dan moto berbahasa Inggris yang tergantung atau tertempel di dinding, ternyata Taman Siswa memilih cara lain. Meski, mereka tak menolak masuknya bahasa lain, termasuk bahasa Inggris untuk diajarkan kepada anak didik.
Rupanya ajaran Ki Hadjar Dewantara mengenai fase budaya yang dikenal dengan istilah trikon, yakni kontinu (budaya lama dan budaya baru terus berhubungan), konvergen (ada hubungan dengan budaya luar), dan konsentris (budaya sendiri tetap diuri-uri, tetapi juga menyerap budaya luar yang sesuai jati diri bangsa) menjadi salah satu benteng agar warga Taman Siswa tak terlalu larut dengan budaya asing. Ki Hadjar sangat menyadari bahwa karakter anak bangsa ditentukan oleh budayanya sendiri.
"Ki Hadjar percaya budaya, berupa kesenian, etika, estetika merupakan media yang paling tepat untuk menanamkan dan menerapkan pendidikan karakter. Dulu penanaman itu kental sekali sehingga Taman Siswa dikenal sebagai sekolah berbasis budaya," ujar Ki Prijo Mustiko Ketua I Harian Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Selasa (31/3).
Menurut Ki Prijo, asas trikon itu benar-benar diterapkan dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Pelaksanaannya sangat disesuaikan dengan tumbuh kembang anak. Sebab, Ki Hadjar yakin inti dalam pendidikan among adalah guiding education yang mempertimbangkan perkembangan jiwa, bukan directing education yang selalu menjejali siswa dengan segala macam materi, padahal mereka belum siap menerima itu semua.
Lantas, bagamana cara "menyuntikkan" rasa berbudaya kepada para anak didik di Taman Siswa agar benar-benar masuk dalam sanubari? Ternyata upaya itu sudah dilakukan sejak dini atau ketika mereka masih duduk di bangku Taman Indria (TK). Para pamong akan mengasah kepekaan naluri anak-anak dengan berbagai permainan tradisional.
"Kami ingin naluri anak yang masih kecil sudah dilatih dengan budaya sendiri. Sekarang, kan, tidak. Banyak anak TK yang sudah dijejali bahasa Inggris. Kami tidak, kepekaan indria itulah yang kami latih," ucap Ki Prijo sembari mengklarifikasi bahwa seni dan budaya yang diberikan pada siswa disesuaikan dengan daerah masing- masing karena cabang Taman Siswa berada di seluruh Indonesia.
Begitu pula saat usia mereka bertambah. Saat memasuki jenjang Taman Muda (SD), maka anak-anak materi budaya yang diberikan kian bertambah. Satu hari dalam seminggu, para anak didik di Taman Muda Ibu Pawiyatan dibiasakan saling sapa dalam bahasa Jawa. Begitu pula para pamong kepada anak didik atau pamong kepada pamong, dibiasakan untuk bercakap dalam bahasa daerah.
Melalui bahasa daerah inilah, Taman Siswa yakin bisa menjadi media yang tepat untuk menanamkan budi pekerti kepada anak didik yang akhirnya berpengaruh pada pembentukan karakter. Budi pekerti, menurut Ki Prijo tidak menjadi mata pelajaran khusus melainkan selalu ditanamkan kepada anak didik pada setiap kesempatan. Para pamong memberi bekal untuk menanamkan budi pekerti, termasuk saat memberi pelajaran eksak sekalipun.
"Misalnya, guru matematika tidak hanya mengajarkan 2 x 4 = 8 tetapi juga kejujuran. Dengan harapan jika mereka sudah sukses, jadi pelaku bisnis, misalnya, tidak memanipulasi data atau mengurangi takaran. Jadi, yang kami utamakan bukan hanya dari sisi kemampuan akademik, tetapi juga budi pekerti," ucapnya.
Selain itu, upaya lainnya adalah memasukkan kesenian dalam kegiatan ekstra dan intrakurikuler. Untuk kelas 1-2 Taman Muda ada intrakurikuler dolanan anak dalam bentuk tarian sambil menyanyi. Begitu pula untuk kelas 3 ke atas, ada kegiatan menari. Di luar itu semua, ada sejumlah kegiatan ekstrakurikuler seperti menari dan karawitan.
Demikian pula saat anak didik menduduki Taman Dewasa (SMP) dan Taman Madya (SMA) kegiatan berbau seni dan budaya tidak ditinggalkan, di samping mereka diberi kebebasan untuk bisa lebih berkreasi sehingga konsep ing madya mangun karsa benar-benar terwujud. Begitu halnya pada jenjang paling tinggi, seperti universitas ada jurusan seni tersendiri. Saat itulah mereka sudah memasuki tahapan tut wuri handayani.
Anastasia Riatriasih, Ketua Bagian Taman Muda Ibu Pawiyatan, mengatakan memang tidak mudah menerapkan semua itu kepada anak didik. Maklum, untuk berbahasa Jawa saja, misalnya, banyak anak yang kesulitan. Selama ini, mereka selalu dijejali dengan bahasa nasional dan internasional.
Mungkin kini saatnya lebih memerhatikan bahasa lokal, kecuali kalau kita semua rela budaya lokal makin hilang....
Sumber: http://nasional.kompas.com
Tinggalkan komentar anda tentang Bertahan dengan Penerapan Budaya JawaKetika pemerintah mengimbau sekolah memberi nama kelas dengan tokoh wayang, sejumlah tokoh Pandawa sudah menjadi nama ruang kelas dan kantor pamong Taman Muda Taman Siswa Ibu Pawiyatan.
Nama-nama yang ditulis dengan aksara Jawa, seolah menyadarkan tak ada yang berubah dengan sekolah hasil buah pikir Ki Hadjar Dewantara itu. Di tengah gempuran globalisasi, Taman Siswa terus mempertahankan kebudayaan adiluhung nenek moyang.
Ketika banyak sekolah membuat papan nama dan moto berbahasa Inggris yang tergantung atau tertempel di dinding, ternyata Taman Siswa memilih cara lain. Meski, mereka tak menolak masuknya bahasa lain, termasuk bahasa Inggris untuk diajarkan kepada anak didik.
Rupanya ajaran Ki Hadjar Dewantara mengenai fase budaya yang dikenal dengan istilah trikon, yakni kontinu (budaya lama dan budaya baru terus berhubungan), konvergen (ada hubungan dengan budaya luar), dan konsentris (budaya sendiri tetap diuri-uri, tetapi juga menyerap budaya luar yang sesuai jati diri bangsa) menjadi salah satu benteng agar warga Taman Siswa tak terlalu larut dengan budaya asing. Ki Hadjar sangat menyadari bahwa karakter anak bangsa ditentukan oleh budayanya sendiri.
"Ki Hadjar percaya budaya, berupa kesenian, etika, estetika merupakan media yang paling tepat untuk menanamkan dan menerapkan pendidikan karakter. Dulu penanaman itu kental sekali sehingga Taman Siswa dikenal sebagai sekolah berbasis budaya," ujar Ki Prijo Mustiko Ketua I Harian Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Selasa (31/3).
Menurut Ki Prijo, asas trikon itu benar-benar diterapkan dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Pelaksanaannya sangat disesuaikan dengan tumbuh kembang anak. Sebab, Ki Hadjar yakin inti dalam pendidikan among adalah guiding education yang mempertimbangkan perkembangan jiwa, bukan directing education yang selalu menjejali siswa dengan segala macam materi, padahal mereka belum siap menerima itu semua.
Lantas, bagamana cara "menyuntikkan" rasa berbudaya kepada para anak didik di Taman Siswa agar benar-benar masuk dalam sanubari? Ternyata upaya itu sudah dilakukan sejak dini atau ketika mereka masih duduk di bangku Taman Indria (TK). Para pamong akan mengasah kepekaan naluri anak-anak dengan berbagai permainan tradisional.
"Kami ingin naluri anak yang masih kecil sudah dilatih dengan budaya sendiri. Sekarang, kan, tidak. Banyak anak TK yang sudah dijejali bahasa Inggris. Kami tidak, kepekaan indria itulah yang kami latih," ucap Ki Prijo sembari mengklarifikasi bahwa seni dan budaya yang diberikan pada siswa disesuaikan dengan daerah masing- masing karena cabang Taman Siswa berada di seluruh Indonesia.
Begitu pula saat usia mereka bertambah. Saat memasuki jenjang Taman Muda (SD), maka anak-anak materi budaya yang diberikan kian bertambah. Satu hari dalam seminggu, para anak didik di Taman Muda Ibu Pawiyatan dibiasakan saling sapa dalam bahasa Jawa. Begitu pula para pamong kepada anak didik atau pamong kepada pamong, dibiasakan untuk bercakap dalam bahasa daerah.
Melalui bahasa daerah inilah, Taman Siswa yakin bisa menjadi media yang tepat untuk menanamkan budi pekerti kepada anak didik yang akhirnya berpengaruh pada pembentukan karakter. Budi pekerti, menurut Ki Prijo tidak menjadi mata pelajaran khusus melainkan selalu ditanamkan kepada anak didik pada setiap kesempatan. Para pamong memberi bekal untuk menanamkan budi pekerti, termasuk saat memberi pelajaran eksak sekalipun.
"Misalnya, guru matematika tidak hanya mengajarkan 2 x 4 = 8 tetapi juga kejujuran. Dengan harapan jika mereka sudah sukses, jadi pelaku bisnis, misalnya, tidak memanipulasi data atau mengurangi takaran. Jadi, yang kami utamakan bukan hanya dari sisi kemampuan akademik, tetapi juga budi pekerti," ucapnya.
Selain itu, upaya lainnya adalah memasukkan kesenian dalam kegiatan ekstra dan intrakurikuler. Untuk kelas 1-2 Taman Muda ada intrakurikuler dolanan anak dalam bentuk tarian sambil menyanyi. Begitu pula untuk kelas 3 ke atas, ada kegiatan menari. Di luar itu semua, ada sejumlah kegiatan ekstrakurikuler seperti menari dan karawitan.
Demikian pula saat anak didik menduduki Taman Dewasa (SMP) dan Taman Madya (SMA) kegiatan berbau seni dan budaya tidak ditinggalkan, di samping mereka diberi kebebasan untuk bisa lebih berkreasi sehingga konsep ing madya mangun karsa benar-benar terwujud. Begitu halnya pada jenjang paling tinggi, seperti universitas ada jurusan seni tersendiri. Saat itulah mereka sudah memasuki tahapan tut wuri handayani.
Anastasia Riatriasih, Ketua Bagian Taman Muda Ibu Pawiyatan, mengatakan memang tidak mudah menerapkan semua itu kepada anak didik. Maklum, untuk berbahasa Jawa saja, misalnya, banyak anak yang kesulitan. Selama ini, mereka selalu dijejali dengan bahasa nasional dan internasional.
Mungkin kini saatnya lebih memerhatikan bahasa lokal, kecuali kalau kita semua rela budaya lokal makin hilang....
Sumber: http://nasional.kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar