Informasi terbaru Senapan Angin, Aset Bangsa di Pinggiran Kota Bandung
Sebagian orang tentu akan takut mendengar kata ”senjata” atau ”senapan” diucapkan, tetapi perasaan tersebut tidak bagi pengrajin lokal dari daerah Cipacing dan Cikeruh, dua kecamatan yang terletak di 20 kilometer dari kota Bandung, Jawa Barat. Di kedua kecamatan tersebut banyak dihasilkan senapan angin berkaliber 4,5 mm dengan beraneka jenis bentuk serta ukuran. Tidak hanya senapan pompa yang harus dikokang terlebih dahulu dengan menggunakan kekuatan pegas, disini juga terdapat senapan patah lop atau bisa hingga senapan yang menggunakan tenaga gas untuk memuntahkan peluru pelet.

Pengrajin senapan angin di Cipacing dan Cikeruh bisa meniru senapan angin buatan luar negeri, seperti senapan angin pompa merek Benjamin dan senapan Diana. Tidak hanya pengrajin juga dapat membuat senapan angin dengan bentuk senjata api laras panjang bahkan sniper-rifle. Bahkan senapan Benjamin, BSD, dan Diana dianggap telah menjadi pajangan wajib di setiap toko di sepanjang jalan Cipacing. Sayangnya secara kualitas walaupun telah mencontek merek asing, senapan angin Cipacing belum bisa bersaing.

Apabila dilihat dari sejarahnya, industri senapan angin di Cipacing telah berlangsung hampir satu setengah abad. Usaha ini dirintis pertama kali oleh Raden Nata Dimadja pada tahun 1854. Hinggal awal 1960-an, terdapat catatan resmi dari generasi kedua Raden Nata Dimadja, bahwa terdapat pengrajin senapan angin yang berada di desa Cikeruh dan Cipacing walaupun bisa dihitung dengan jari. Itu pun terbatas pada jasa perbaikan senapan angin yang berasal dari luar negeri. Dengan dorongan memperbaiki tingkat kehidupan, berbekal pengalaman memperbaiki senapan angin, akhirnya usaha membuat senapan angin secara mandiri pun dimulai.

Menurut Haji Sayuti (62), salah seorang pemilik toko sekaligus bengkel senapan angin Cipacing, Masyarakat Cipacing dan Cikeruh sudah membuat senapan angin sejak tahun 1964. Bahkan pada awal tahun 1990-an jumlah pengrajin bisa mencapai 400-an lebih. Wilayah pemasarannya pun cukup luas, tidak hanya di Jawa Barat peminat senapan angin berada di seluruh Indonesia, konsumen utamanya adalah petani. Haji Sayuti menuturkan,”Sebelum tahun 1998, produksi senapan angin sangat pesat, saat itu peminatnya banyak dan pasar stabil. Persaingan juga dilakukan secara sehat karena memang tidak perlu berebut konsumen. Dengan modal seadanya selama kita punya alat bubut dan tenaga pengrajin, kita bisa terus produksi. Dulu dalam sebulan kita bisa memproduksi 30-40 pucuk senapan angin".

Sayangnya krisis moneter memorakporandakan industri tradisional yang telah berjalan puluhan tahun ini, setelah perekonomian jatuh pada tahun 1998 serta banyaknya konflik daerah seperti di Aceh, Maluku, Poso dll. Senapan angin yangg semula dapat diperdagangkan secara bebas, mulai dibatasi. Bahkan untuk wilayah Aceh, Maluku, Kalimantan dan Sulawesi, tidak boleh sepucuk-pun senapan angin diperjual belikan di sana.

Haji Sayuti menuturkan, “sebelum krisis dulu banyak pengrajin yang mendapat order-an dari luar pulau, tapi semenjak ada larangan pengrajin dan pedagang jadi kehilangan pasar. Kita juga yang kena imbasnya, yang tadi konsumennya luas di mana-mana sekarang ya di situ-situ juga, mau ga mau kita bersaing.”

Pada tahun 1992, pemerintah mengeluarkan aturan bahwa pengrajin senjata angin harus memiliki badan hukum yang sah. Berbagai cara ditempuh oleh pengrajin-pengrajin di daerah Cipacing dan Cikeruh, walaupun ternyata untuk memproduksi senapan angin memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pemohon harus memenuhi berbagai syarat seperti yang diatur dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1948 tentang pendaftaran dan pemberian izin pemakaian senjata api.

Setelah melalui proses perundingan yang cukup alot, tokoh pengrajin senapan angin di Cipacing dan Cikeruh sepakat untuk membentukkoperasi. Hal ini lah awal mulanya berdiri Koperasi Bina Bhakti SenapanAngin, dengan adanya koperasi ini, Polri kemudian mengeluarkan izin penjualan senjata. Izi ini berlaku selama lima tahun yang kemudian harus diperbarui setiap 5 tahun. Koperasi ini pula yang menyelamatkan pengrajin di daerah Cipacing dan Cikeruh untuk dapat memproduksi senapan angin pada masa-masa panas pada tahun 1998, karena pada era tersebut sangat sulit untuk mengurus izin pembuata senjata, bahkan senjata yang tergolong ringan seperti senapan angin sekalipun.

Ketua Koperasi Bina Bhakti Senapan Angin, Idih Sunaedi (68) menuturan, “Setelah krisis, jumlah pengrajin senapan angin di Cipacing dan Cikeruh menurun drastis. Tahun 1990-an awal jumlah pengrajin senapan angin yang terdafar di Koperasi jumlahnya 300-an orang, belum dihitung dengan pengrajin yang tidak terdaftar. Sekarang jumlah pengrajin yang terdaftar di Koperasi hanya 120-an saja.

Berbeda lagi dengan Ade Supriatna (54), perajin asal Cikeruh. Menurut dirinya selain karena pasar yang mulai jenuh, faktor harga bahan baku yang terus melambung juga penyebab signifikan banyak pengrajin yang terpaksa gulung tikar. Hal ini diperparah dengan harga senapan angin yang memang tidak pernah naik.

Kondisi yang sulit ini mendorong kencangnya arus perpindahan profesi. Pengrajin senapan yang tidak mampu bersaing harus rela banting stir guna menyambung hidup menjadi kuli bangunan, pedagang, pengrajin barang lain, dan buruh pabrik.Haji Sayuti memiliki cara jitu untuk meminimalisir biaya yang harus dikeluarkan untuk memproduksi senapan. Kalau dulu seorang pengrajin membuat senapan angin secara keseluruhan, mulai dari pengadaan tabung, popor, membubut besi. Pola tersebut diubah menjadi lebih spesifik, saat ini ada pengrajin yang hanya membuat popor, membuat lop kemudian dirangkai oleh pengrajin yang bertugas memasarkan senapan angin tersebut. Cara ini dianggap dapat memperingan pengrajin secara finansial maupun tenaga, contohnya Idih, sejak tiga tahun ini ia hanya merangkai senapan angin saja, bahan bakunya ia kumpulkan dari pengrajin-pengrajin lain.[gtr]

Sumber : http://seruu.com
Tinggalkan komentar anda tentang Senapan Angin, Aset Bangsa di Pinggiran Kota Bandung

0 komentar:

Posting Komentar